Desa Talle, yang kini dipimpin oleh Kades, Ir Abd Rajab masih merawat tradisi makanan khas dari sumber daya alam (SDA) setempat.
Baca Juga :TNI Gagalkan Penyeludupan Toyota Land Cruiser Asal Malaysia
Salah satu makanan lokal yang masih lestari hingga kini adalah Sayur “Potere” (Tutut Sawa,-red) hidangan berbahan dasar Tutut – keong sawah ini sangat lezat. Tutut ini banyak ditemukan di persawahan warga yang terletak di Latiho dan Tingkasa’e, Dusun Gareccing.
Baca Juga: Salut, Babinsa Kawal Penyaluran BLT 23 KPM di Talle
Setiap musim tanam padi, anak-anak di Dusun Gareccing antusias menyusuri pematang sawah untuk memanen tutut. Aktivitas ini tidak hanya menjadi hiburan tersendiri, tetapi juga menjadi cara masyarakat melestarikan tradisi turun-temurun.
Baca Juga: Presiden Prabowo Serahkan DIPA dan TKD 2025, Rp116,23 Triliun untuk Infrastruktur
Tutut yang dikumpulkan oleh Masyarakat, biasanya dikonsumsi sendiri. Sebelum Corona (Covid -19) melanda Indonesia, pada 2010 tak sedikit Tutut dijual di pasar tradisional seperti Pasar Samaenre dan Pasar Udo, yang terletak di pusat kota kecamatan Sinjai Selatan. Tutut ini bersumber dari berbagai wilayah pelosok termasuk pelosok Desa Talle.
Baca Juga: Coffee Sudut Lego-Lego Lancibung Opening : Wujud Pemberdayaan Ekonomi di Desa Talle
Metode penjualannya dilakukan dalam takaran liter, harganya pun terjangkau hanya ribuan rupiah per liter. Tutut dijual dalam keadaan mentah dengan cangkang masih utuh, memberikan kesempatan bagi pembeli untuk mengolahnya sesuai selera.
Baca Juga: Masyarakat Mengeluh, HMI Soroti RSUD Sinjai: Tipikor Bidik Pengelolaan Biaya Konsumsi dan Laundry
Pengolahan tutut memerlukan kesabaran dan ketelitian. Sebelum dimasak, tutut terlebih dahulu direndam semalam dalam baskom atau ember.
Baca Juga :Mendes Yandri Ajak Kembangkan Desa Wisata Berbasis Potensi Lokal saat Berkunjung ke Maros Sulsel
Langkah ini bertujuan untuk membersihkan lumpur yang tersisa dalam tubuh tutut. Setelah direndam, tutut dicuci hingga benar-benar bersih, lalu bagian ujungnya yang runcing dipotong atau dipukul hingga terbuka menggunakan alat sederhana seperti sendok. Teknik ini memudahkan daging tutut keluar dari cangkang saat dimasak dan disantap.
Baca Juga: Mendes Yandri Dorong Ekspor BUMDes, Desa Ngoran Raup Rp18 Miliar per Tahun
Cara memasaknya pun tak kalah unik. Bumbu sederhana seperti garam, lada, cabai, dan santan digunakan untuk memberikan cita rasa gurih dan pedas. Beberapa warga menambahkan sayuran seperti buah pepaya muda untuk menambah kekayaan rasa.
Yang membuat Tutut Sawa semakin menarik adalah cara menyantapnya. Setiap biji tutut harus diisap dengan mulut hingga dagingnya keluar dari cangkang. Proses ini bukan hanya soal menikmati makanan, tetapi juga pengalaman yang menghubungkan penikmat dengan tradisi lokal.
Baca Juga:Desa Inovasi Membawa Perubahan di Indonesia Konut Dicontoh, Mendes Berkunjung!
Bagi masyarakat Dusun Gareccing, tutut bukan sekadar makanan, tetapi juga sumber penghasilan. Penjualan tutut di pasar tradisional menjadi salah satu cara warga menambah pendapatan, terutama saat musim tanam padi. Selain itu, makanan ini juga menjadi bagian dari identitas budaya yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Baca Juga: Mendes Yandri di Marang Kayu
Tutut Sawa bukan hanya makanan, tetapi juga cerita tentang harmoni antara manusia dan alam, tentang bagaimana tradisi sederhana bisa memberikan makna mendalam bagi kehidupan sehari-hari. Dan begitu cara masyarakat menghargai dan memanfaatkan kekayaan alam sekitar. Bagi Anda yang ingin menikmati rasa nostalgia ala pedesaan, Tutut Sawa adalah pilihan yang tak boleh dilewatkan. (Fd/Fd).