Empat Tersangka ditahan di Mapolres Aceh Timur ( dok Merpos)
Laut selalu menyimpan rahasia. Laut Aceh adalah saksi bisu perjalanan panjang manusia, tempat di mana harapan dan keputusasaan Etnis Rohingnya bertarung dalam gelombang yang tak kenal ampun.
Di atas permukaannya yang tenang, sebuah kapal kecil melaju perlahan, membawa 76 jiwa yang mencari rumah baru. Mereka bukan wisatawan, bukan petualang yang ingin menjelajahi dunia. Mereka adalah manusia yang terusir dari tanahnya sendiri, etnis Rohingya yang telah lama hidup dalam balutan kesedihan. Tanah mereka tak lagi menjadi surga baginya. Baca selengkapnya Mendadak 264 Etnis Rohingya Bertamu di Aceh Timur, Begini Reaksi Masyarakat
Namun, di balik perjalanan mereka, ada kisah lain yang tak kalah kelam. Ada tangan-tangan yang mengendalikan arah pelayaran ini, empat pria yang kini harus berhadapan dengan hukum: AB, sang nahkoda; MU, rekannya yang berbagi kemudi; MH, sang navigator yang mengarahkan kapal dalam gelap; dan NO, yang menjaga mesin agar tetap menyala.
Mereka bukan pelarian. Mereka adalah bagian dari permainan yang lebih besar, sebuah jaringan penyelundupan manusia yang menjadikan kesempatan emas sebagai pabrik keuntungan. Baca selengkapnya Polres Aceh Timur Amankan Dua Warga Saat Hendak Membawa Imigran Illegal Etnis Rohingya ke Medan
Malam itu, laut seperti membuka pintunya. Ombak membawa kapal itu ke pesisir Mak Leuge, tempat di mana perjalanan panjang ini berakhir. Namun, bukan kebebasan yang menunggu mereka di sana. Polisi telah menanti, hukum telah siap menimbang kesalahan dan kebenaran. Baca selengkapnya Jejak Misteri di Pantai Serambi Mekah, Polisi Temukan Kapal Tak Bertuan!
Jum’at 7 Februari 2025, Kapolres Aceh Timur, AKBP Nova Suryandaru, melalui Kasatreskrim Iptu Adi Wahyu Nurhidayat, menyatakan bahwa keempat tersangka memiliki peran aktif dalam penyelundupan ini. Mereka dijerat dengan Pasal 120 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Hukuman lima hingga lima belas tahun menanti para pelaku.
Namun, sebuah pertanyaan tetap menggantung di udara: Apakah mereka pelaku, atau hanya bidak dalam permainan yang lebih besar?
Laut Tak Pernah Menghakimi, Tetapi Manusia Selalu Menilai
Di antara para pengungsi itu, seorang ibu menggenggam tangan anaknya erat. Di wajahnya, ada kelelahan yang tak bisa diukur oleh waktu. Ada seorang lelaki tua yang menatap daratan dengan mata kosong, mungkin bertanya-tanya apakah ini akhir dari pelariannya, atau hanya permulaan babak baru.
Di sisi lain, empat pria yang kini berstatus tersangka menundukkan kepala. Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka memang penyelundup yang kejam, atau mereka sendiri adalah korban dari rantai panjang perdagangan manusia yang tak pernah berhenti berputar?
Dunia ini penuh teka-teki. Kadang kejahatan lahir bukan dari niat, tetapi dari keterpaksaan. Kadang pelaku juga adalah korban. Dan kadang, keadilan bukan tentang menghukum, tetapi tentang memahami.
Laut tidak memilih siapa yang berhak selamat dan siapa yang harus tenggelam. Ombaknya tidak bertanya siapa yang salah dan siapa yang benar. Hanya manusia yang melakukannya.
Dan kini, manusia telah menilai. Hukum telah berbicara.
Tetapi jauh di tengah lautan, di tempat ombak masih bergulung tanpa henti, kisah seperti ini akan terus terulang. Sebab selama masih ada manusia yang kehilangan rumahnya, selama masih ada ketidakadilan yang mengusir mereka dari tanahnya, selalu akan ada kapal-kapal kecil yang berlayar, membawa harapan yang rapuh, menuju negeri yang entah akan menjadi rumah atau penjara.
Penulis: M. Fadil
Editor : Supriadi Buraerah