E ra Presiden RI, H. Prabowo Subianto, sepenggal harapan rakyat di tanah Nusantara yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, “keberagaman adalah napas persatuan” sebuah identitas rakyat Indonesia, ada dua status paling menarik perhatian dunia, status kaya dan miskin.
Komposisi ini juga menguatkan inti keberagaman di tengah derasnya arus modernisasi dan tantangan global, persatuan lah yang dapat menaklukkan setiap tantangan. Namun mampukah kita memaknai keberagaman ini sebagai kekuatan bersama? Atau justru akan tergerus oleh ego sektoral yang melemahkan? yang pada akhirnya slogan Sinergi tinggal pelengkap retorika belaka.
Dihematkan, setiap alat musik memiliki nada, harmoni, dan perannya masing-masing. Tak ada yang lebih dominan, tak ada yang merasa inferior. Ketika setiap elemen bersinergi, lahirlah melodi yang megah. Begitu pula Indonesia. Di sinilah letak keistimewaan kita: keberagaman bukan sekadar kenyataan, tetapi aset yang harus terus dirajut menjadi harmoni pembangunan.
Tidak ada suatu bangsa yang mampu berdiri kokoh hanya dengan satu warna. Keberagaman suku, agama, adat, hingga pemikiran adalah bahan baku pembangunan Indonesia. Dari Aceh yang kaya seni, hingga Papua yang mempesona dengan alamnya, keberagaman adalah kekayaan sejati. Tetapi, kekayaan ini akan sia-sia tanpa sinergi yang nyata.
Sinergi bukan sekadar slogan.Ini adalah tindakan nyata dari setiap individu, komunitas, dan pemimpin. Dari tingkat desa hingga nasional, kita memerlukan kolaborasi lintas budaya, lintas sektor, dan lintas generasi. Bayangkan seorang petani di Sinjai yang berbagi ilmu dengan petani di Maluku. Bayangkan seorang pengusaha dari Jakarta yang memberdayakan komunitas di pedalaman Kalimantan. Dalam persatuan, keberagaman menjadi katalisator, bukan hambatan.
Namun, keberagaman bukan tanpa ancaman. Polarisasi sosial, politik identitas, dan sentimen primordial adalah virus yang menggerogoti semangat kebangsaan. Kita sering terjebak dalam perdebatan siapa yang lebih benar, lebih besar, atau lebih pantas. Sementara itu, di balik layar, bangsa lain terus melaju, meninggalkan kita dalam bayang-bayang konflik internal.
Indonesia harus cerdas.Kita tidak boleh membiarkan keberagaman menjadi jurang pemisah. Justru sebaliknya, keberagaman harus menjadi jembatan penghubung. Setiap kita, mulai dari pejabat hingga rakyat biasa, memiliki tanggung jawab untuk melawan narasi-narasi yang memecah belah.
Dalam visi besar menuju Indonesia Emas 2045, keberagaman adalah pilar utama. Di sana, tidak ada lagi sekat-sekat yang menghalangi sinergi nasional. Setiap anak bangsa, dari manapun asalnya, adalah pemain utama dalam panggung pembangunan.
Mari jadikan keberagaman sebagai energi kolektif. Jangan hanya bicara tentang toleransi, tetapi praktikkan. Jangan hanya memuji keberagaman, tetapi terjunlah dalam kerja nyata untuk menguatkannya. Seperti pepatah Bugis, “Resopa temmangingngi namalomo naletei pammase dewata” (hanya kerja keras yang membawa berkah dari Tuhan- arti bahasa nasional).
Keberagaman dan keunikan yang ada di Indonesia ibarat mozaik, dan setiap dari kita adalah kepingan penting dalam gambaran besar itu. Saatnya kita melangkah lebih jauh, bersama-sama, untuk membangun Indonesia yang lebih maju, berkembang, dan berdaya. Sebab, hanya dengan persatuan, mimpi besar bangsa ini dapat tercapai.
Oleh : Rakyat (Supriadi Buraerah)
Comments 2