Prof. Dr. Amir Ilyas, SH. MH, kanan (dok Prof Amir).
P embaruan hukum acara pidana melalui revisi UU No. 8/1981, serta penerapan UU No. 1/2023 yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026, membawa semangat baru dalam perlindungan hak asasi manusia dalam penegakan hukum. Salah satu isu penting yang muncul adalah gagasan “penyatuan” fungsi penyidikan dalam institusi Polri. Wacana ini semakin kuat, terutama di kalangan akademisi berlatar belakang kepolisian.
Namun, gagasan tersebut memicu reaksi dari berbagai pihak, termasuk Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang khawatir akan dampak revisi KUHAP terhadap kewenangan mereka. Terlebih, fungsi penyidikan tindak pidana tertentu, seperti korupsi dan pelanggaran HAM berat, yang selama ini juga dipegang oleh Kejaksaan, menjadi bahan perdebatan.
Publik memiliki pandangan beragam terhadap kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana tertentu. Sebagian mendukung keberlanjutan kewenangan tersebut, sementara yang lain mengusulkan agar fungsi itu sepenuhnya dialihkan kepada Kepolisian. Dorongan untuk mencabut kewenangan Kejaksaan juga dikaitkan dengan “ego sektoral” dan kepentingan pihak tertentu, termasuk mantan narapidana korupsi yang berlatar belakang politisi atau korporasi.
Sejatinya, usulan untuk menghilangkan fungsi penyidikan Kejaksaan bukan hal baru. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 28/PUU-V/2007, MK menegaskan bahwa konstitusi tidak mengatur penyidikan sebagai kewenangan tunggal Polri. Pasal 30 ayat 5 UUD NRI 1945 dan Pasal 14 UU Kepolisian menunjukkan bahwa fungsi penyidikan dapat dibagi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan penyidikan Kejaksaan dalam tindak pidana tertentu, seperti yang diatur dalam Pasal 24 ayat 3 UUD NRI 1945, tidak bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional, check and balance, dan sharing power dalam sistem hukum acara pidana. Oleh karena itu, kewenangan ini justru memperkuat sistem penegakan hukum.
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa perdebatan mengenai siapa yang lebih berwenang dalam penyidikan seharusnya diarahkan pada misi bersama: menegakkan hukum demi kepentingan masyarakat. UU KPK dan UU Tipikor lahir bukan untuk membubarkan institusi lain, tetapi untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi demi kemajuan bangsa.
Modus kejahatan terus berkembang seiring kemajuan teknologi. Oleh sebab itu, pembagian kewenangan penyidikan, termasuk untuk Kejaksaan, KPK, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), tetap relevan selama ada koordinasi yang baik. Prinsip diferensiasi fungsional, check and balance, serta pengawasan horizontal antara lembaga penegak hukum menjadi kunci menjaga integritas sistem hukum.
Pembaruan KUHAP yang mengusulkan penyidikan tunggal oleh Polri untuk tindak pidana umum tidaklah keliru, asalkan tidak meniadakan peran Kejaksaan dalam tindak pidana tertentu. Sinergi antara Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga lainnya diperlukan untuk menciptakan sistem penegakan hukum yang adil dan transparan.
Penegakan hukum adalah tugas bersama yang menuntut integritas, transparansi, dan kolaborasi. Pengawasan publik dan mekanisme praperadilan menjadi pengingat bagi penegak hukum agar tidak gegabah dalam menetapkan status tersangka. Akhirnya, keberhasilan penegakan hukum hanya dapat tercapai jika semua pihak bekerja bersama, dengan tujuan utama melindungi hak-hak masyarakat dan memberantas korupsi demi kesejahteraan bangsa.