HIBURANMERPOS,–Angin bertiup dari hulu, membawa bisikan masa lalu yang tak kunjung pudar. Sungai Kampar Kiri mengalir, seperti waktu yang tak bisa dihentikan, seperti takdir yang sudah dituliskan jauh sebelum kelahiran dunia. Di tepinya, sebuah batu besar berdiri, terbelah sempurna, seakan ada luka yang menganga di dadanya. Tak ada yang tahu bagaimana ia bisa terpisah, namun bisikan di antara dedaunan dan desir air mengisahkan satu nama: Gagak Jao (G.Jao).
Pada masa kejayaan Majapahit, ketika matahari tak pernah tenggelam di bawah panji kerajaan itu, seorang hulubalang gagah bernama Gagak Jao dikirim untuk menaklukkan Sumatera. Tubuhnya kekar, kulitnya legam seperti bayangan malam, matanya menyala dengan api keberanian yang tak pernah padam. Ia tak mengenal gentar, tak pernah merasa lemah. Di tangannya, sebilah pedang peninggalan Singasari, ditempa oleh para mpu yang memahami bahasa besi dan rahasia api.
Dalam perjalanan menaklukkan tanah asing, ia mendengar nama yang menyalakan bara di dalam dadanya: Putri Lindung Bulan. Ia tak pernah melihatnya, namun kisah tentangnya menjelma cahaya yang membutakan. Wajahnya seperti rembulan di malam yang tak berawan, suaranya seperti aliran sungai yang membelai batu-batu dengan lembut. Gagak Jao tidak bisa mengabaikan suara hatinya. Bukan sekadar hasrat, tapi takdir yang memanggilnya untuk memiliki.
Ia menunggang kudanya melewati lembah dan rimba, menembus belantara yang menyembunyikan rahasia dunia. Hingga akhirnya, ia tiba di Batu Sanggan, tempat sang putri bermukim. Namun, desa itu sunyi. Tak ada tawa anak-anak, tak ada langkah kaki yang tergesa-gesa, tak ada mata yang mengintip dari celah pintu. Hanya desir angin yang menjawab pertanyaannya. Penduduk telah pergi, menyelamatkan sang putri ke dalam pelukan hutan yang gelap dan tak tersentuh.
Gagak Jao berdiri di tengah kehampaan. Amarah mulai membakar dadanya, seperti api yang mencari kayu kering untuk dikobarkan. Ia bukan lelaki yang mengenal kata penolakan. Segala yang diinginkannya, selalu menjadi miliknya. Namun kini, bahkan bayangan pun menolaknya.
Di hadapannya, sebuah batu besar berdiri, bisu dan tak bergeming, seakan menantangnya untuk melepaskan amarah yang tak terbendung. Ia mencabut pedangnya, mata baja itu berkilat seperti petir di langit yang murka. Nafasnya berat, tubuhnya gemetar, bukan oleh ketakutan, melainkan oleh kemarahan yang meluap.
Dengan satu ayunan, pedang itu menebas batu. Suara gemuruh memenuhi udara, burung-burung beterbangan, daun-daun luruh dalam ketakutan. Batu itu terbelah sempurna, membentuk retakan lurus, seperti luka yang dibiarkan menganga oleh waktu. Namun, apakah kemarahan bisa menyembuhkan kehampaan? Apakah tebasan pedang bisa mengembalikan apa yang sudah hilang?
Gagak Jao berdiri, memandang batu yang terbagi dua. Dadanya masih bergemuruh, tapi hatinya kosong. Batu itu tidak menjerit, tidak menangis, tidak tunduk seperti yang ia harapkan. Sama seperti Putri Lindung Bulan yang tak pernah bisa ia miliki.
Batu itu tetap berdiri hingga kini, di tepian Sungai Kampar Kiri. Retakannya masih sama, tak bertambah, tak berkurang. Seperti bekas luka yang tak pernah sembuh, seperti kenangan yang tak pernah usai.
Antara Mitos dan Kenyataan, orang-orang menyebutnya Batu Belah.Beberapa mengatakan, itu hanya legenda, dongeng yang diceritakan nenek moyang kepada anak-anak sebelum mereka tidur. Yang lain percaya, itu adalah kisah nyata, perlawanan halus dari mereka yang menolak tunduk pada kekuasaan. Sejarah mencatat, ekspedisi Majapahit ke Sumatera memang terjadi. Namun, nama Gagak Jao tidak pernah tertulis dalam prasasti atau naskah kuno.
Mungkin ia ada, mungkin ia tidak. Tapi bukankah kebenaran sejati tidak selalu tertulis di atas batu? Bukankah kisah-kisah yang bertahan dalam hati manusia lebih kuat daripada tinta di lembaran tua?
Batu itu tetap ada. Air sungai masih mengalir di sisinya. Angin masih membawa bisikan kisah lama.
Dan di suatu tempat, dalam bayang-bayang waktu, mungkin masih ada seseorang yang mencari Putri Lindung Bulan, meski ia tahu bahwa rembulan tidak pernah bisa digenggam.