JAKARTA,–Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana baru saja selesai memimpin ekspose virtual dengan menyetujui empat permohonan penghentian penuntutan melalui mekanisme restorative justice. Salah satu perkara yang berhasil diselesaikan melalui pendekatan ini adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.Kamis (28/11).
Dalam keterangan resminya, Kapuspenkum Dr Harli Siregar menjelaskan bahwa, perkara tersebut melibatkan tersangka Yunus alias Afung, yang didakwa melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT. Kejadian bermula pada September 2024, ketika tersangka melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya, Ira, di rumah mereka di Dusun Hilir, Kecamatan Balai. Tindakan itu mengakibatkan korban mengalami luka serius, seperti robek di bibir, memar di wajah, dan luka lecet di beberapa bagian tubuh.
Selanjutnya, proses Perdamaian dan Pertimbangan Restorative Justice Setelah dilakukan pendalaman kasus, Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Dedy Irwan Virantama, S.H., M.H., bersama timnya, menginisiasi penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice.
Sementara untuk mediasi yang dilakukan, tersangka mengakui kesalahan, menyesal, dan meminta maaf kepada korban. Korban menerima permintaan maaf tersebut dan meminta agar proses hukum terhadap tersangka dihentikan.
Berdasarkan hasil mediasi, Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau mengajukan permohonan penghentian penuntutan ke Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Edyward Kaban, S.H., M.H., yang kemudian disetujui oleh JAM-Pidum. Penghentian penuntutan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain:
Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun.
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa tekanan.
Pertimbangan sosiologis dan respons positif masyarakat.
Selain kasus KDRT di Sanggau, JAM-Pidum juga menyetujui penghentian penuntutan untuk tiga perkara lainnya:
1. Ripki Septiana alias Ule alias Acil (Kejari Sukabumi) atas kasus pencurian.
2. Retendra Johnbetri alias Ten (Kejari Solok) atas kasus penganiayaan.
3. Aulia Adi Putra alias Willi (Kejari Solok) atas kasus penganiayaan dengan luka berat.
Senada, JAM-Pidum menegaskan bahwa penghentian penuntutan ini didasarkan pada Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022.
“Langkah ini adalah wujud nyata dari keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan hubungan sosial dan kepastian hukum,” ujar JAM-Pidum dalam pernyataan resmi.
(MERPOS/K.3.3.1)