Dok Merpos : DPRD Bali usai terima Aspirasi Warga Desa Adat Jimbaran Terkait Kasus Tanah 280 Hektar (Wawancara).
DENPASARMERPOS,–Tanah milik 130 orang masyarakat yang tergabung dalam lima kelompok Desa Adat Jimbaran mulai disorot setelah terbengkalai selama 30 tahun. Sebelumnya, lahan tersebut dikuasai oleh sejumlah perusahaan terbatas (PT) dan hingga kini masih terlantar.
Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat) Jimbaran menyampaikan aspirasi langsung kepada Wakil Rakyat di Kantor Sekretariat DPRD Provinsi Bali, pada Senin, 3 Februari 2025.
Aspirasi warga Desa Adat Jimbaran diterima oleh Wakil Ketua III DPRD Provinsi Bali I Komang Nova Sewi Putra, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali Nyoman Budi Utama, Sekretaris Komisi I DPRD Bali I Nyoman Oka Antara, dan Anggota Komisi I DPRD Bali Gede Harja Astawa.
Terkait permasalahan ini, DPRD Bali berencana memanggil berbagai pihak terkait, termasuk Pertanahan Nasional (BPN), Biro Hukum Setda Provinsi Bali, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Bali, serta investor yang terlibat dalam pengelolaan tanah tersebut.
Ketua Komisi I DPRD Bali, Nyoman Budi Utama, menyatakan bahwa pihaknya akan mempelajari dan mengkaji aspirasi warga terkait asal-usul tanah dan status hukum lainnya.
“Dokumen-dokumen yang ada akan kami kaji lebih lanjut. Jika ada berkas yang kurang, kami akan koordinasikan untuk melengkapinya,” ujarnya.
Selain itu, Komisi I DPRD Bali juga akan melakukan pemanggilan terhadap pihak terkait, termasuk BPN dan investor yang terlibat, untuk menindaklanjuti masalah ini.
Anggota Komisi I, Gede Harja Astawa, mengingatkan agar masyarakat tetap waspada dan tidak terprovokasi, serta tidak melakukan pelanggaran hukum dalam perjuangan ini.
Nyoman Oka Antara, anggota lainnya, menyarankan agar dilakukan persembahyangan sebagai upaya agar perjuangan ini mendapatkan restu sekala niskala.
Di kesempatan yang sama, I Wayan Bulat, perwakilan dari Kepet Adat Jimbaran, mengungkapkan bahwa perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas tanah seluas 280 hektar pada tahun 2010 diduga melawan hukum. Sebab, sebagian besar lahan tersebut masih dalam kondisi terlantar pada saat perpanjangan dilakukan, meskipun awalnya tanah tersebut direncanakan untuk digunakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) pada tahun 2013.
“Dugaan Penyalahgunaan Surat Keputusan Presiden, Menteri, dan pejabat lainnya dalam hal penggunaan lahan untuk kegiatan multilateral tersebut perlu dipertanyakan. Hingga kini, tidak ada pembangunan di lokasi itu,” tegasnya.
Bulat juga menambahkan bahwa perpanjangan SHGB tanah tersebut terindikasi dipaksakan, mengingat sebelumnya sudah ada Surat Penetapan Indikasi Tanah Terlantar oleh BPN, yang seharusnya tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik hak yang sah.
“Kami sedang menempuh langkah hukum, baik perdata maupun pidana, untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat ini,” tandasnya.
Penulis: Gede Wiguna
Editor: Supriadi Buraerah