Kerajaan Sriwijaya, yang pernah menjadi mercusuar peradaban dunia, kini seakan terlupakan. Sebuah kerajaan yang dulunya menguasai jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, membangun hubungan diplomatik dengan kerajaan besar di Cina dan Timur Tengah, serta mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai pusat pembelajaran agama dan budaya.
Sriwijaya, yang berdiri sekitar abad ke-7 hingga ke-11 Masehi, merupakan simbol kejayaan peradaban nusantara. Wilayahnya meliputi Sumatra, Bangka, Jawa, Melayu, hingga Thailand.
Kerajaan ini dikenal dengan kekuatan armada lautnya yang tak tertandingi, menguasai perdagangan rempah-rempah yang menjadi komoditas utama di jalur perdagangan maritim dunia.Selat Malaka, yang kini menjadi salah satu jalur vital perdagangan internasional yang dikuasai oleh Singapura, pada masa itu berada di bawah kendali Sriwijaya.
Namun, meskipun pernah mencapai puncaknya pada abad ke-10, Sriwijaya seakan terabaikan oleh generasi penerusnya. Candi Muara Takus dan Muara Jambi, yang menjadi saksi bisu kemegahan arsitektur Sriwijaya, terabaikan tanpa perhatian yang seharusnya. Padahal, candi-candi tersebut memiliki potensi besar sebagai destinasi ziarah spiritual yang tak tertandingi oleh negara manapun di dunia ini. Namun, sayangnya tidak ada perhatian serius dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menjadikannya sebagai kekayaan budaya yang bernilai tinggi.
Dalam hal keagamaan, Sriwijaya juga berperan penting. Bhiku I-Tsing dari Cina yang bolak-balik datang ke Sriwijaya untuk mempelajari agama Buddha, meskipun saat itu Nalanda di India adalah pusat pendidikan agama Buddha yang terkenal. Keberadaan Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran ilmu pengetahuan dan agama, terutama dalam bahasa Sanskerta dan kitab-kitab Buddha, membuktikan betapa besar kontribusinya terhadap perkembangan kebudayaan dunia pada masa itu.
Yang lebih menarik adalah catatan sejarah dari berbagai sumber asing yang mencatatkan kejayaan Sriwijaya. Ibnu Hordadzbeh, Sulayman, Ibn al-Fakih, hingga Abu Zayd menegaskan bahwa Sriwijaya berada di puncak kejayaannya pada abad ke-9 dan ke-10.
Bahkan, pada tahun 718 M, Raja Sriwijaya mengirimkan surat kepada Khalifah Daulah Umayyah di Damaskus, Suriah, menunjukkan tingkat komunikasi internasional yang tinggi, jauh melampaui kebanyakan kerajaan di dunia pada masa itu. Surat ini bahkan dikutip dalam karya-karya sastrawan terkenal, seperti Ibnu Abdu Rabbih dan Ibnu Tagribirdi, yang membuktikan pentingnya Sriwijaya dalam sejarah diplomasi dunia.
Namun, meskipun kejayaan Sriwijaya telah diakui oleh banyak sejarawan asing, sayangnya banyak sejarawan Indonesia yang enggan menggali lebih dalam mengenai kerajaan ini. Tidak hanya itu, perhatian terhadap warisan sejarah ini juga minim dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Padahal, dengan menggali lebih dalam tentang kejayaan Sriwijaya, kita tidak hanya mengungkap sejarah bangsa yang gemilang, tetapi juga dapat membangkitkan semangat nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa yang pernah menerangi dunia.
Sriwijaya adalah contoh betapa besar peran Indonesia dalam sejarah dunia. Dari pusat perdagangan hingga pusat ilmu pengetahuan dan agama, Sriwijaya telah memberi kontribusi besar terhadap peradaban manusia. Jika kita mau membuka mata dan mempelajari lebih lanjut tentang kerajaan ini, kita akan menemukan banyak pelajaran berharga tentang kebijakan diplomasi, kekuatan maritim, dan pentingnya membangun jembatan ilmu pengetahuan lintas negara. Namun, untuk itu, kita membutuhkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah dan masyarakat untuk menghargai dan melestarikan warisan ini. (JC/MERPOS).